Di sebuah gang sempit di daerah Ciamis, Jawa Barat, seorang gadis muda bernama Aisyah Nurul Hikmah menyiapkan adonan kue pukis sejak pukul 3 pagi. Tangannya cekatan, matanya lelah tapi penuh semangat. Di balik senyumannya, tersimpan cerita hidup yang mampu menyentuh siapa pun: mg4d anak penjual kue keliling yang kini menjadi mahasiswi kedokteran di universitas negeri ternama.
Mengharukan: Kue Pukis yang Menyelamatkan Hidup
Aisyah adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang buruh tani, dan ibunya membuat kue tradisional untuk dijual keliling. Ketika Aisyah duduk di kelas 5 SD, ayahnya meninggal karena penyakit paru-paru. Hidup mereka berubah drastis.
“Saat itu, saya melihat ibu berhenti menangis hanya saat mulai mengaduk adonan,” kenangnya.
Sejak kelas 6 SD, Aisyah ikut membantu. Ia yang bangun lebih dulu untuk memanaskan cetakan kue, menyusun plastik pembungkus, hingga mendorong gerobak kecil ke sekolah.
Teman-temannya tahu ia penjual kue, dan tak jarang mencibir. Tapi Aisyah tidak pernah malu. “Saya justru bangga. Karena kue ibu, saya bisa sekolah,” katanya.
Menggugah: Belajar di Bawah Lampu Jalan
Rumah Aisyah kecil dan sempit. Listrik sering padam. Ia biasa belajar di bawah lampu jalan, membawa kursi plastik dan buku-buku bekas dari kakaknya. Tetangga-tetangganya sering menertawakan.
“Ngapain belajar sampai malam? Emang mau jadi apa?”
Tapi Aisyah diam. Dalam hati ia berkata, “Saya mau jadi dokter. Supaya orang seperti ayah saya tidak mati sia-sia hanya karena tak mampu berobat.”
Saat teman-teman lain belajar di bimbel, Aisyah belajar dari buku-buku fotokopian dan video YouTube gratis. Ia menulis ulang semua materi dengan tangan, karena tak sanggup membeli printer.
Ia pernah gagal saat seleksi beasiswa SMP. Pernah juga nilainya jeblok karena harus bolos jualan. Tapi setiap kali hampir menyerah, ia melihat tangan kasar ibunya yang terus mengadon kue meski tangan sudah bengkak.
“Kalau ibu bisa terus berdiri untuk saya, kenapa saya harus duduk menyerah?”
Menginspirasi: Lolos Fakultas Kedokteran Tanpa Bayar
Tahun 2024, Aisyah mendaftar SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes) dan menaruh pilihan pertamanya: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Pilihan itu dianggap “nekat” oleh banyak orang. Bahkan gurunya sempat menyarankan jurusan lain yang lebih “realistis”.
Tapi Aisyah yakin. Ia belajar lebih keras. Ia tidak tidur selama 3 malam sebelum ujian. Ia berdoa lebih khusyuk dari biasanya.
Hasilnya: ia lolos dengan nilai tertinggi di kabupatennya.
Ketika pengumuman itu keluar, Aisyah dan ibunya hanya bisa menangis sambil memeluk gerobak kue mereka.
“Saya bilang ke ibu, ‘Bu, ini bukan cuma surat kelulusan. Ini bukti bahwa doa ibu lebih kuat dari kemiskinan.’”
Aisyah mendapat beasiswa penuh dari pemerintah. Bahkan ia juga terpilih sebagai salah satu penerima laptop gratis dari donatur alumni kampus.
Namun, ia menolak dipindahkan ke kos mewah. Ia tetap memilih tinggal di asrama sederhana. “Saya ingin hidup sederhana agar bisa bantu lebih banyak orang nanti,” ujarnya.
Menghebohkan: Viral Karena Foto Bersama Gerobak
Satu hari setelah dinyatakan lolos, seorang fotografer lokal memotret Aisyah berdiri di samping gerobak kue ibunya sambil memegang surat kelulusan. Foto itu diunggah ke media sosial dengan caption:
“Dari kue pukis ke fakultas kedokteran. Perjuangan seorang anak luar biasa bernama Aisyah.”
Foto itu viral. Banyak media nasional meliput kisahnya. Ribuan komentar masuk dari seluruh Indonesia. Beberapa bahkan mengirimkan bantuan sukarela untuk keluarganya.
Namun Aisyah menolak sebagian besar sumbangan.
“Saya cukup. Tapi banyak anak lain yang perlu dibantu. Kirimkan ke mereka saja,” tulisnya di akun media sosialnya.
Kepeduliannya membuat banyak orang semakin kagum. Ia kemudian diundang ke beberapa talk show televisi dan seminar motivasi, namun selalu menolak honor. “Kalau cerita hidup saya bisa bantu orang lain semangat, itu sudah cukup.”
Penutup: Harapan Tak Pernah Dijual Murah
Kisah Aisyah adalah cermin bahwa harapan tidak mengenal harga. Ia lahir dari dapur pengap, tumbuh di tengah keterbatasan, namun menjulang tinggi dengan ketekunan dan hati yang bersih.
Ia tidak meminta hidup yang mudah. Ia hanya meminta kekuatan untuk menjalani hidup yang sulit. Dan kekuatan itu datang dari cinta seorang ibu, dari tekad dalam dada, dan dari rasa percaya bahwa ilmu bisa mengubah takdir.
Kini, setiap kali Aisyah pulang kampung, ia masih ikut membantu ibunya membuat kue pukis. Tidak ada rasa malu, hanya rasa syukur.
“Ilmu bukan untuk sombong. Ilmu adalah alat untuk melayani. Saya mau jadi dokter yang bisa mendengar, bukan hanya menyembuhkan,” ujarnya.
Dan suatu hari nanti, ketika Aisyah memakai jas putih sebagai dokter, kita semua tahu—jas itu bukan sekadar simbol profesi, tapi lambang kemenangan dari kue pukis dan peluh seorang ibu.